Sejarah Peternakan Dan Sejarah Sapi di Indonesia
SEJARAH PETERNAKAN
Sistem peternakan diperkirakan telah ada sejak 9.000 SM yang dimulai dengan domestikasi (penjinakan hewan buas atau hewan liar dan sebagainya agar dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh manusia) sapi, anjing, kambing, dan domba. Pada awalnya proses domestikasi hewan berlangsung secara tidak sengaja dimana ada hewan liar yang mendekat kepada manusia, kemudian tanpa sadar manusia memberi makan pada hewan liar tersebut yang akhirnya menjadi jinak. Hal yang sama juga terjadi pada tumbuhan, berupa sisa-sisa ataupun butir buah yang tumbuh didekat kediaman manusia.
Peternakan semakin berkembang pada masa Neolitikum, yaitu masa ketika manusia mulai tinggal menetap dalam sebuah perkampungan. Pada masa ini pula, domba dan kambing yang semula hanya diambil hasil dagingnya, mulai dimanfaatkan juga hasil susu dan hasil bulunya (wol). Setelah itu manusia juga memelihara sapi dan kerbau untuk diambil hasil kulit dan hasil susunya serta memanfaatkan tenaganya untuk membajak tanah. Manusia juga mengembangkan peternakan kuda, babi, unta, dan lain-lain.
Hewan didomestikasikan ketika perkembangbiakan dan kehidupan mereka dikendalikan oleh manusia. Sepanjang waktu berlalu, perilaku hewan, siklus hidup serta fisiologinya telah berubah secara signifikan. Saat ini begitu banyak hewan ternak yang tidak mampu hidup di alam liar. Anjing didomestikasikan di Asia Timur 15000 tahun yang lalu. Kambing dan domba didomestikan di Asia 8000 tahun yang lalu. Babi didomestikasikan 7000 tahun yang lalu di Timur Tengah dan China.
Pada dasarnya hidup adalah usaha mencari pangan dibawah intaian bahaya mati kelaparan. Hal ini menjadi titik tolak berubahnya pola hidup berburu menjadi bertani. Perburuan yang tidak bisa ditentukan hasilnya ini telah digantikan oleh usaha tani yang dipengaruhi oleh lingkungan dan klimat yang tidak menentu pula.
Praktek Pemeliharaan
Praktek pemeliharaan hewan ternak amat bervariasi di berbagai tempat di dunia, dan bervariasi pula antara jenis hewan. Hewan ternak umumnya dipelihara di dalam kandang dan diberi makan atau diberikan akses menuju makanan (digembalakan). Beberapa tidak mengkandangkan hewannya atau membiarkan hewan memilih kapan akan masuk kandang (jelajah bebas). Pemeiharaan hewan ternak dalam sejarah merupakah bagian dari kehidupan kaum nomaden yang berpindah-pindah mengikuti musim. Beberapa kaum di Asia Tengah dan Afrika Utara masih hidup sebagai kaum nomaden bersama hewan ternaknya.
Kandang hewan memiliki bentuk dan jenis yang bervariasi, mulai dari pagar tertutup tanpa atap, hingga bangunan bertingkat dengan atap dan memiliki mekanisme pengaturan temperatur dan kelembaban (lihat lingkungan dan bangunan pertanian). Kandang umumnya hanya digunakan sebagai tempat hewan ternak untuk tidur dan diberi makan; jenis kandang lain diperuntukan khusus untuk perkawinan hewan dan pemeliharaan anakan hewan.
Hewan yang dipelihara di dalam kandang umumnya bersifat intensif jika pemeliharaan di luar ruangan tidak dianggap menguntungkan karena membutuhkan lahan yang luas. Namun pemeliharaan di dalam kandang bersifa kontroversial karena menghasilkan berbagai masalah seperti bau, penanganan limbah, persebaran penyakit hewan, dan kesejahteraan hewan (lihat peternakan pabrik).
Hewan ternak dapat dipantau dengan berbagai cara seperti penggunaan label (dicat di atas kulit hewan atau digantung di telinga) atau dengan cara yang modern seperti penggunaan RFID yang ditanam di bawah kulit. Implan microchip juga dapat ditanam di dalam tubuh hewan ternak untuk memantau kondisi hewan seperti perubahan komposisi darah, denyut jantung, temperatur tubuh, dan sebagainya sehingga dapat menjadi pengingat jika hewan ternak menunjukan gejala sakit.
Penggunaan hormon pertumbuhan untuk meningkatkan laju pertumbuhan hewan ternak juga dilakukan, namun dibatasi karena dapat mengganggu kesehatan hewan dan kualitas produk hewan yang dihasilkan. Bahan kimia lain yang digunakan pada peternakan adalah vaksin dan multivitamin untuk menjaga kesehatan hewan, dan pestisida untuk mencegah keberadaan serangga di dalam kandang. Metode ini umumnya dilakukan di dalam peternakan pabrik karena secara alami hewan ternak tidak mampu membersihkan diri di dalam kandang yang sempit.
Macam – Macam Hewan Ternak
Ternak adalah hewan jinak yang dipelihara yang seluruh kehidupannya mencakup kandang, makanan, perkembangbiakan (reproduksi), kesehatan, pengelolaan dan pemanfaatannya diatur oleh manusia.
Dari keanekaragaman spesies hewan yang bisa diternakkan oleh manusia, dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu:
- Ternak Besar; jenis ternak yang bertubuh besar dan memamah biak, seperti sapi, kerbau, unta dan kuda.
- Ternak Kecil; seperti kambing, domba dan babi.
- Ternak Unggas; seperti ayam, itik dan kalkun.
- Aneka Ternak/Satwa; jenis hewan yang belum lama didomestikasi dan digunakan sebagai penghasil bahan pangan berprotein tinggi atau untuk hobby/kesenangan.
Selain itu pengelompokan ternak juga didasarkan kepada sifat fisiologisnya, dikenal;
- Ternak Ruminansia; sapi, kerbau, unta, kambing dan domba.
- Ternak Non Ruminansia (monogastrik); unggas, babi dan kuda.
SEJARAH SAPI DI INDONESIA
Sejarah ternak sapi agaknya perlu diubah. Selama ini sapi di Indonesia disebut-sebut sebagai keturunan sapi impor, yakni sapi India (benggala) dan sapi Eropa (ongole). Ternyata, berdasarkan penelitian Sutopo dari Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang, sapi asli Indonesia berasal dari Bali. Secara fisik, penampilan sapi Bali bisa dibedakan dari sapi India dan Eropa. Sapi India memiliki punggung yang berpunuk, sedangkan sapi Eropa tak berpunuk. Sapi Bali berwarna cokelat, dengan pantat putih, kaki seperti berkaus putih, dan garis hitam di punggung.
Biasanya daging sapi Bali dikonsumsi masyarakat banyak. Adapun sapi India dan Eropa, kebanyakan dikonsumsi ketika hari raya, atau dalam sebuah perjamuan di hotel atau restoran. Penemuan sapi asli Indonesia melalui penelitian Sutopo untuk disertasi doktornya di Tokyo University of Agriculture, Jepang beberapa tahun lalu tersebut tentu amat berarti. Sebab, pendapat selama ini, yang seperti mitos, menganggap bahwa sapi Indonesia berasal dari induk sapi luar, terutama India. Hal itu tak lain lantaran data arkeologi tentang asal-usul sapi Indonesia amat minim. Paling banter, “Hanya ada bukti arkeologi berupa relief di Candi Borobudur,” ujar Sutopo. Bukti itu pun cuma menggambarkan peran sapi sebagai ternak dan pembantu petani untuk menggarap sawah serta ladang. Seorang ilmuwan Jepang, Takao Namikawa, pada 1970-an pernah meneliti sapi Indonesia. Toh, ia belum menemukan riwayat sapi Indonesia.
Dua puluh tahun kemudian, ilmuwan lain yang juga dari Jepang, Takazi Amano, hanya meneliti ternak kerbau. Ketika itu Sutopo membantu Amano di lapangan. Rupanya pengalaman bersama Amano membuat Sutopo, yang semasa kuliah hingga lulus dari Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro tahun 1989 juga merangkap sebagai blantik (pedagang sapi), bersemangat untuk meneliti sejarah sapi asli Indonesia. Untuk itu, ia menggunakan jalur genetika dengan metode penandaan protein enzim dan polymorphism (keragaman) DNA (deoxyribonucleic acid). Sebanyak 234 ekor sapi berbagai jenis digunakan sebagai sampel. Akhirnya, dengan analisis komponen pembeda utama, diperoleh pengelompokan sapi Bali bersama banteng, yang memiliki ciri-ciri genetis berbeda dengan sapi India dan sapi Eropa, berikut keturunannya. Setelah itu, Sutopo meneliti lagi asal-usul induk pejantan ataupun betina dari sapi Bali. Dengan sampel 700 ekor sapi dan metode microsatellite DNA, diperoleh kesimpulan bahwa induk jantan sapi Bali memang asli Indonesia, bukan keturunan sapi India ataupun Eropa. Kemudian, dengan sampel 600 ekor sapi dan metode mitochondrial DNA (gen spesifik dari induk betina), didapatkan hasil bahwa induk betina sapi Bali juga berasal dari keturunan sapi Bali.
Kelebihan sapi Bali
Itu berarti asal-usul sapi asli Indonesia yang keturunan sapi Bali itu masih murni, tanpa ada pengaruh genetis sapi impor. Berdasarkan itu, Sutopo mendukung adanya upaya melindungi, untuk kemudian mengembangbiakkan kemurnian Sapi Bali. Selama ini turunan sapi India dan Eropa paling banyak dikembangbiakkan dan digunakan oleh petani ataupun peternak Indonesia. Demikian pula dagingnya yang dikonsumsi masyarakat. Padahal, menurut Sutopo, sapi Bali punya beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi impor. Di antaranya kelebihan dalam soal mutu daging, daya tahan terhadap penyakit, dan kemampuan adaptasi. Selain itu, “Sapi Bali selama masa produktifnya mampu beranak tujuh kali, sementara sapi India dan Eropa hanya lima kali,” kata Sutopo.
Sumber Artikel : http://www.livestockreview.com/2010/09/sejarah-sapi-indonesia/
Komentar
Posting Komentar